Mode Auto atau PASM, mana yang sebaiknya digunakan?
Banyak orang yang menggunakan mode Auto, karena mudah. Banyak juga
fotografer yang ngotot (entah ke diri sendiri atau ke orang lain) bahwa
fotografer harus menggunakan mode M (Manual). Nah, mode apa yang
sebaiknya kita gunakan?
Kamera DSLR mempunyai banyak pilihan/settingan: white balance, ISO,
aperture, shutter speed, AF point, metering, dsb. Untungnya, kamera bisa
mengatur semua pilihan tersebut untuk kita, dengan menggunakan mode
Auto. Kita tinggal menekan shutter saja.
Kamera juga menyediakan mode-mode lain di mana kita bisa mengambil
kendali atas pilihan-pilihan tersebut. Biasanya tersedia empat mode
lagi, yang biasa disingkat PASM: Program, Aperture priority, Shutter
speed priority, dan Manual. Keempat mode tersebut bertahap mulai dari
yang paling otomatis hingga yang paling manual. (Tentu saja, hal ini
mungkin berbeda tergantung merk kamera. Di Canon, misalnya, A dan S
tertulis sebagai Av dan Tv.)
Program mode: kita bisa menentukan white balance (walaupun ada
pilihan Auto WB juga), ISO, exposure compensation, AF point, dan
metering. Kamera akan menentukan aperture dan shutter speed yang
diperlukan (termasuk setelah penyesuaian dengan exposure compensation
yang kita tetapkan).
Aperture priority: mirip seperti Program, tapi kita juga menentukan
aperture yang akan digunakan, sedangkan kamera tinggal menentukan
shutter speednya.
Speed priority: semacam kebalikan dari Aperture priority, di mana
kita menentukan shutter speed dan kamera yang menentukan aperturenya.
Di ketiga mode di atas, kita juga bisa memilih untuk membiarkan kamera memilih ISO secara otomatis (auto ISO).
Manual: mirip seperti di atas, namun kita harus menentukan sendiri segitiga exposurenya: shutter speed, aperture, dan ISO.
Jadi, mana yang seharusnya kita gunakan?
Kita ambil contoh, mode Auto, yang notabene sering dihina dan dicerca. “Ngapain mahal-mahal beli DSLR kalo cuma pake mode Auto? Mending pakai kamera pocket aja!” Pernah dengar ungkapan seperti itu?
Jawaban saya: kalau memang pilihan yang ditentukan kamera secara otomatis masih sesuai dengan keinginan kita, kenapa tidak? Perbedaan kamera pocket dan DSLR bukan masalah kontrol manualnya saja (toh ada kamera pocket yang bisa dikontrol manual juga), tapi masalah ukuran sensor (yang secara langsung/tidak langsung mempengaruhi banyak hal) dan kemampuan mengganti lensa.
Saya malah justru lebih suka kalau seorang pemula lebih fokus meng-explore selera artistiknya: memilih objek foto yang bagus, memilih angle yang bagus, komposisi yang bagus, sehingga fotonya pun enak dilihat. Terlepas dari mode yang ia gunakan.
Ketika kita sudah mulai ‘gatal’ dengan pilihan-pilihan kamera pada mode Auto (atau ketika kita ingin belajar/berlatih), barulah kita beralih menggunakan mode P. Mungkin kita gatal dengan AWB yang tidak pas dengan selera kita. Mungkin kita sebal karena multiple-AF point yang digunakan membuat kamera sering terfokus pada hal yang tidak kita inginkan, jadi ingin menggunakan single AF point. Mungkin juga exposure yang ditentukan kamera sering meleset, sehingga kita ingin menerapkan exposure compensation: menggelapkan atau menerangkan exposure yang ditentukan otomatis oleh kamera.
Di mode P, yang ditentukan otomatis oleh kamera hanyalah aperture dan shutter speed saja (dan ISO dan White Balance, jika memang kita tentukan demikian). Jika Anda puas dengan settingan otomatis kamera, ya mengapa tidak memotret menggunakan mode P?
Mode A dan S memberikan kita kendali lebih banyak satu langkah lagi: kita bisa menentukan salah satu dari shutter speed atau aperture, dan membiarkan kamera menentukan yang satunya lagi. Bagi saya pribadi, mode A atau S ini cukup untuk mayoritas kasus pemotretan. Di mode A dan S ini sebenarnya kita sudah mempunyai kendali penuh atas semua settingan di kamera. Kita bisa menentukan dua sisi dari segitiga exposure, kamera akan menentukan satu sisi, dan jika masih kurang tepat kita bisa menetapkan exposure compensation.
Lalu kapan kita harus menggunakan mode M?
Salah satunya adalah ketika kita menginginkan exposure compensation dengan rentang yang lebih jauh daripada yang dimungkinkan oleh kamera. Tergantung merk kamera, exposure compensation biasanya terbatas, ada yang hingga 2EV, 3EV, 5EV, dsb. Jika kita menginginkan modifikasi yang lebih besar dari yang dimungkinkan kamera, berarti perlu menggunakan mode M. (Sebenarnya bisa juga menggunakan spot metering dan/atau fitur AE Lock, namun hal ini tidak selalu bisa digunakan.)
Selain itu, jika kita menggunakan flash/lighting (yang tentunya akan mengubah exposure yang diperlukan), tapi flash tersebut tidak bisa berkoordinasi dengan kamera sehingga kamera tidak bisa menyesuaikan perhitungan autoexposurenya. Jika tidak menggunakan mode manual, maka hasilnya jadi overexposure.
Bagaimana jika tujuannya untuk belajar/berlatih? Apakah perlu menggunakan mode M?
Menurut saya pribadi sih tidak :)
Pertama-tama, menurut saya lebih baik dipisahkan antara sesi latihan dan sesi ‘hunting’. Anggaplah pada sesi latihan Anda mengutak-atik settingan kamera satu per satu (dengan mode M) dan melihat hasilnya langsung. Hal ini bisa dilakukan di rumah, bahkan di ruang makan juga bisa. Ingin melihat efek aperture ke DOF? Motret gelas atau bungkus rokok pun jadi. Berbeda tentunya jika Anda sedang ‘hunting’ dan ingin menciptakan foto bagus. Anda keluar, sengaja dengan tujuan mencari objek yang bagus untuk difoto. Pada kasus ini, saya menyarankan Anda untuk menggunakan setting yang memberikan kombinasi yang pas (bagi Anda pribadi) antara kemudahan dan kendali. Sayang kalau Anda sudah susah-susah mencari obyek yang bagus, namun terhambat karena Anda masih gagap mengubah segitiga exposure, ketiga-tiganya! Tidak perlu dipaksakan dengan mode M.
Kedua, menurut saya sesi berlatih pun tidak perlu menggunakan mode M. Jika Anda ingin melihat efek perubahan aperture pada hasil foto, ya Anda cuma perlu susah payah mengganti aperturenya saja. Biarkan kamera mengubah shutter speed (dan bahkan ISO) untuk mencapai exposure yang tepat. Jika Anda ingin melihat efek perubahan shutter speed, ya gunakan mode S. Biarkan kamera menentukan sisanya.
Selain itu, konsep segitiga exposure adalah konsep yang lumayan mudah dipahami, kok. Seperti A + B + C = X, di mana X ditentukan kondisi lighting pada lokasi (ditambah penyesuaian sesuai dengan pilihan kreatif kita). Jika A naik, maka nilai B dan/atau C harus turun dalam jumlah yang sesuai. Jika B naik, maka A dan/atau C harus turun. Dan kombinasi-kombinasi lain yang tidak perlu dihafal, cukup intuitif saja :)
Dan, paling mendasar, tujuan kita toh menciptakan foto yang indah, bukan untuk menjadi orang yang paling jago menyetting kameranya ;)
Bagaimana menurut Anda?
sumber : http://blajarmotret.wordpress.com